Adalah suatu keunikan tersendiri, jika pesantren hingga saat ini tetap survive di tengah gejolak modernisasi dan globalisasi sekalipun. Lembaga pendidikan yang kerap distigmatisasi ‘tradisional’ ini, telah menunjukkan eksistensinya, bahwa ia tetap istiqamah dengan tradisionalismenya, tanpa kehilangan iklusivitas dan kontekstualitas.
Betapa tidak, di tengah kondisi bangsa dengan realitas pendidikan dan pola hidup masyarakatnya yang carut marut, kita akan jengah saat melihat realitas pendidikan yang mengemuka penuh dengan perilaku destruktif-amoralitas yang pada akhirnya berimbas pada pola hidup koruptif dan manipulatif para elit pejabat yang mengakar sampai masyarakat alit pada umumnya. Di sinilah letaknya, betapa saat ini kita butuh penyegaran dan perbaikan agar gejala distorsif tersebut tidak mewabah dan menjalar semakin parah.
Tidaklah berlebihan jika hal ini pulalah yang menjadi komitmen Pengurus Besar Nahdlatu Ulama (PBNU) pada malam puncak Hari Lahir (Harlah) NU yang ke-90 belum lama ini, sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj menyerukan agar masyarakat Indonesia kembali ke pesantren, “Khittah NU adalah pesantren. Kita harus kembali menegaskan gagasan mulia tersebut. Pesantren adalah produk nusantara. Sebelum Islam hadir, konsep pesantren sudah hadir dalam kepercayaan Kapitayang dan Hindu. Nafasnya sama pendidikan spiritual”. (Republika.co.id, 27/05/13).
Atas dasar itulah, melalui tulisan sederhana ini, saya ingin mencoba merunutnya secara lebih lanjut; bahwa betapa bijaknya jika kita kembali merenungkan realitas kehidupan distorsif ini dengan bercermin pada pesantren. Lebih lanjut saya akan membidik; pertama, tentang tranformasi pendidikan pesantren. Kedua, tentang pola hidup di pesantren.
0 komentar:
Posting Komentar